Kerajaan Banggai adalah kerajaan lokal yang pernah berkembang di Sulawesi Tengah. Kerajaan yang merupakan gabungan dari sejumlah pemerintahan adat di Banggai Daratan dan Banggai Kepulauan ini pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Singasari, Majapahit, Kesultanan Ternate, hingga Gowa. Pada masa sekarang, tempat-tempat yang dulu termasuk dalam wilayah Kerajaan Banggai telah menjadi daerah administratif Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah.
1. Sejarah
Di kawasan
besar yang kemudian disatukan menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai di
Sulawesi Tengah pada awalnya terdiri dari sejumlah kerajaan lokal yang berdiri
sendiri-sendiri. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut dapat dikategorikan sebagai
pemerintahan purba karena sudah menjalani peradabannya sejak tahun 800 Masehi.
Di antara sekian banyak kerajaan yang berkehidupan di wilayah Banggai, terdapat
empat kerajaan yang paling kesohor pada kala itu. Empat kerajaan tua yang
dikenal dengan julukan Tano Bolukan tersebut adalah Kerajaan Babolau,
Singgolok, Katapean, dan Kokini (Ismed Syamsuddin, dalam
http://et-ee.facebook.com).
Selain itu,
masih ada sejumlah kerajaan lainnya yang juga melakoni kehidupan di bumi
Banggai. Di Pulau Peling bagian barat, terdapat dua kerajaan bersaudara:
Kerajaan Buko dan Bulagi. Di Pulau Peling belahan tengah (kini menjadi
Kecamatan Liang) diduduki oleh tiga kerajaan: Kerajaan Sisipan, Lipotomundo,
dan Kadupadang. Kerajaan Bongganan menempati lokasi di Pulau Peling bagian
timur (sekarang Kecamatan Totikum dan Tinangkung). Sementara itu, di Banggai
Darat bagian utara berdiri Kerajaan Tompotika yang berpusat di Bualemo.
Sedangkan di Banggai Darat bagian selatan berjajar tiga pemerintahan lokal yang
masih terhitung satu kerabat, yakni Kerajaan Motiandok, Balaloa, dan Gori-Gori
(www.pa-luwuk.net).
a. Berdirinya Kerajaan Banggai
Keseluruhan
dari wilayah kerajaan-kerajaan kecil yang hidup di tanah Banggai, baik daratan
maupun kepulauan, pernah menjadi rangkaian dari proyek raksasa yang digencarkan
oleh dua kerajaan besar dari Jawa, yakni Kerajaan Singasari dan Majapahit. Pada
abad ke-13, ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292 M), nama Banggai
termasuk dalam bagian dari Ekspedisi Pamalayu oleh Kerajaan Singasari
(http://id.wikipedia.org).
Seabad
berselang, setelah Singasari runtuh, estafet Ekspedisi Pamalayu diteruskan oleh
Kerajaan Majapahit. Duet dua tokoh utama Majapahit, Raja Hayam Wuruk (1351-1389
M) dan Mahapatih Gadjah Mada, berhasil menggaet kerajaan-kerajaan lokal di
Banggai, yang pada saat itu masih bernama Benggawi, untuk bersatu di bawah
naungan imperium Kerajaan Majapahit (http://id.wikipedia.org).
Bukti bahwa
Benggawi (Banggai) pernah bergabung dengan Kerajaan Majapahit setidaknya
seperti yang tertulis dalam Negarakrtagama, kitab dengan tarikh tahun
Saka 1287 atau 1365 M. Dalam karya gubahan Mpu Prapanca ini, tepatnya pada
syair nomor 14 bait ke-5, tergurat rangkaian kata beraksara Pallawa di mana
dicantumkan nama Benggawi sebagai salah satu wilayah yang berhasil disatukan oleh
Majapahit. Nukilan naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Sanskerta itu berbunyi
sebagai berikut:
Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun, Benggawi,
Kunir, Galiayo, Murang Ling, Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I
Wandleha, Athawa, Maloko, Wiwawun ri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara (www.pa-luwuk.net).
Beberapa ratus
tahun lamanya, teritorial Benggawi yang dihuni oleh sejumlah kerajaan itu
menjalani kehidupan di bawah koordinasi Majapahit. Kerajaan
Ternate yang berpusat di Maluku Utara ditunjuk sebagai wakil
Majapahit untuk mengelola negeri-negeri kecil yang ada di Benggawi tersebut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila corak dan bentuk bangunan istana
Kerajaan Banggai menyerupai keraton-keraton yang terdapat di Ternate dan Tidore
dikarenakan adanya hubungan historis (http://riaulingga.blogspot.com).
Keruntuhan
Majapahit pada sekitar tahun 1500 M tidak membuat Benggawi merasakan udara
kebebasan. Justru yang terjadi adalah pertikaian antara kerajaan-kerajaan
lokal, terutama melibatkan empat kerajaan terbesar di kawasan itu, yakni
Kerajaan Babolau, Singgolok, Katapean, dan Kokini. Masing-masing keempat
kerajaan ini saling adu kuasa sehingga kerap bersitegang. Perselisihan ini
justru membuat mereka semakin lemah hingga akhirnya Benggawi kembali jatuh ke
dalam kekuasaan Temate yang pada waktu itu telah berubah statusnya menjadi kesultanan
yang bercorak Islam (http://www.wacananusantara.org).
Menapak abad
ke-16, kerajaan-kerajaan lokal di Benggawi berhasil dipersatukan. Aktor utama
dalam penyatuan ini adalah Panglima Perang Kesultanan Ternate bernama Adi
Cokro. Setelah memeluk Islam, Adi Cokro dikenal dengan nama Raja Saka Muhammad
Cakra (www.skripsi-tesis.com). Tokoh ini adalah seorang bangsawan asal Jawa
Timur (Kediri) yang mengabdikan diri kepada Kesultanan Ternate di bawah
pimpinan Sultan Baab-Ullah (1570-1583 M). Asal-usul darah Jawa ini membuat Adi
Cokro diberi gelar Mumbu Doi Jawa. Pelafalan Adi Cokro dalam dialek
Banggai diucapkan dengan bunyi Adi Soko (http://id.wikipedia.org).
Adi Cokro
tercatat sebagai sosok yang mempelopori masuknya agama Islam ke Banggai. Berkat
peran sentralnya, Kerajaan Banggai yang semula adalah wilayah gabungan dari
kerajaan-kerajaan lokal dinyatakan resmi berdiri. Oleh Adi Cokro, masing-masing
penguasa lokal yang semula memimpin empat kerajaan terbesar di Banggai
diakomodir dan ditempatkan secara terhormat ke dalam lembaga tinggi
pemerintahan yang disebut Ba Salo Sangkap (serupa Majelis
Permusyawaratan Rakyat). Keempat raja itu masing-masing adalah Ba Salo Dodung
dari Kerajaan Babolau, Ba Salo Gong-gong dari Kerajaan Singgolok, Ba Salo Mon
Songan dari Kerajaan Katapean, dan Ba Salo Bonunungan yang tidak lain adalah
pemimpin Kerajaan Kokini (http://www.wacananusantara.org).
Sewaktu
mengabdi di Kesultanan Ternate, Adi Cokro menikah dengan Kastellia, seorang
putri bangsawan Ternate berdarah Portugis, dan dianugerahi putra bernama
Maulana Prins Mandapar (www.ptbss.com). Ternate memang sempat berjabat erat
dengan Portugis. P.A. Tiele dalam bukunya yang berjudul Europeers in Den
Maleischen Archipel, menyebutkan bahwa pada tahun 1596 M, armada bangsa
Portugis yang dipimpin oleh Hernando Biautemente datang dan sempat menetap di
wilayah Benggawi (www.pa-luwuk.net). Bahkan, penguasa Ternate pernah mengangkat
pelaut Portugis bernama Fransisco Serrao sebagai penasehat pribadinya dan
menjadi figur terpandang (http://ternate.popsick.com). Oleh karena hubungan
itu, sisa-sisa peninggalan Portugis, seperti puing-puing benteng dan meriam
kuno, dapat ditemukan pula di bekas istana Kerajaan Banggai.
Semasa bertugas
di Benggawi sebagai utusan dari Kesultanan Ternate, Adi Cokro mengawini Putri
Nurussapa, anak gadis Raja Singgolok (salah satu kerajaan lokal di Banggai).
Pernikahan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abu Kasim.
Semula, Abu Kasim inilah yang digadang-gadang menduduki tampuk kepemimpinan
sebagai raja perdana Kerajaan Banggai. Namun, sebelum sempat dinobatkan, calon
raja muda ini tewas dalam suatu tragedi melawan gerombolan bajak laut ketika
sedang menempuh pelayaran (http://www.wacananusantara.org).
Gugurnya Abu
Kasim membuat Ba Salo Sangkap, dengan persetujuan Kesultanan Ternate,
menjatuhkan keputusan bahwa yang ditahbiskan sebagai raja pertama Banggai
adalah Maulana Prins Mandapar, putra Adi Cokro dari hasil pernikahan dengan
Kastellia. Maulana Prins Mandapar ditabalkan sebagai Raja Banggai dan dilantik
oleh Sultan Said Berkad Syam, putra sekaligus penerus Sultan Baab-Ullah dari
Kesultanan Ternate yang selama ini menaungi Kerajaan Banggai
(http://www.radarsulteng.com). Setelah Maulana Prins Mandapar dinobatkan
menjadi raja, tata cara pemerintahan Kerajaan Banggai mulai diatur dengan
mengacu pada sistem pemerintahan yang diberlakukan di Kesultanan Ternate
(Reinhard Nainggolan, dalam http://www.kompas.com).
b. Eksistensi Kerajaan Banggai
Menurut Machmud
HK yang pernah meneliti tentang sejarah Banggai, Maulana Prins Mandapar
berkuasa di Kerajaan Banggai terhitung sejak tahun 1571 sampai dengan 1601 M
(http://bangkep.kabarku.com). Ritual pelantikan Raja Banggai dilakukan di atas
sebuah batu yang dipahat menyerupai singgasana. Batu yang dianggap keramat oleh
warga setempat ini berada di suatu tempat bersejarah bernama Lalongo yang
terletak kira-kira 5 kilometer dari pusat Kota Banggai. Di Lalongo, masih
terdapat situs sejarah berupa sumur tua yang menjadi sumber mata air penduduk
Kerajaan Banggai kala itu (http://bangkep.kabarku.com)
Raja-raja yang
memimpin Kerajaan Banggai tidak diberi predikat sebagai Sultan, melainkan Mumbui
Doi atau Tomundo karena yang berhak menyandang gelar Sultan hanyalah
penguasa Kesultanan Ternate sebagai kerajaan induk. Oleh karena itu, setelah
resmi bertahta sebagai pemimpin Kerajaan Ternate, Maulana Prins Mandapar
mendapat gelar kehormatan sebagai Mumbu Doi Godong dan menempatkan pusat
pemerintahannya di Banggai Kepulauan (www.ptbss.com).
Di bawah
pimpinan Maulana Prins Mandapar, Banggai segera menjadi kerajaan baru yang
mencuri perhatian. Kerajaan ini mengandalkan sektor maritim untuk menopang
kehidupan ekonominya sehingga perdagangannya pun semakin maju. Apalagi wilayah
Banggai dikenal sebagai daerah strategis dalam peta ekonomi dunia. Banggai
terletak di barat Kepulauan Maluku dan di selatan Philipina yang notabene
merupakan jalur utama perdagangan Eropa. Kapal-kapal pedagang Eropa, termasuk
Spanyol dan terutama Portugis, sering singgah dan membangun dermaga di wilayah
pesisir Banggai (http://www.radarsulteng.com).
Orang asing
pertama yang menginjakkan kaki di Banggai bernama Andres de Urdanette pada
tahun 1532 M. Urdanette adalah laksamana armada Spanyol. Sebelum ke Banggai, ia
telah singgah dan menjalin relasi dengan Kerajaan Jailolo
(http://id.wikipedia.org). Dari situlah Urdanette mendapat informasi tentang
keberadaan bandar perniagaan yang cukup besar di Banggai. Setelah Spanyol,
giliran orang Portugis yang menyambangi Banggai pada tahun 1596 M, dipimpin
oleh Hernando Biautemente. Di warsa yang sama, armada dagang Belanda di bawah
komando Cornelis de Houtman, untuk pertama kalinya tiba di Nusantara.
Menariknya, pada tahun 1594 M atau dua tahun sebelum datang ke Indonesia,
Cornelis de Houtman sudah menulis cerita tentang Banggai (www.pa-luwuk.net).
Rezim Maulana
Prins Mandapar berakhir pada tahun 1601 M (www.ptbss.com). Setahun kemudian,
para pedagang Belanda mendirikan Vereeniging Oost-indische Compagnie (VOC) atau
yang oleh kalangan pribumi lazim dikenal dengan sebutan Kompeni. Mulanya, VOC
dibentuk sebagai kongsi dagang untuk mengurusi jalannya perniagaan Belanda di
Hindia Timur (Nusantara). Lambat-laun, peran VOC kian meluas dengan menjalankan
prinsip imperialis mereka yang terpatri dalam 3G: Gold (emas, kekayaan),
Glory (kejayaan, wilayah, kekuasaan), dan Gospel (agama).
Berdirinya VOC
membuat Belanda semakin berani mencoba ikut campur dalam urusan internal
Kerajaan Banggai. Hal ini membuat para petinggi kerajaan gerah dan berusaha
ingin melepaskan diri dari tekanan VOC. Nuansa Portugis yang ditularkan oleh
Kesultanan Ternate dan selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai pun mulai
melemah seiring aroma Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian seorang pelaut
berkebangsaan Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke
Banggai, pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak masa pemerintahan Maulana
Prins Mandapar (http://id.wikipedia.org).
Selain ingin
lepas dari pengaruh VOC, Kerajaan Banggai rupanya juga berniat terbebas dari
pendudukan Kesultanan Ternate (http://www.wacananusantara.org). Gerakan-gerakan
pembebasan ini tak pelak membuat kondisi stabilitas politik Kesultanan Ternate
kian melemah. Bentrokan pun semakin sering terjadi antara Kesultanan Ternate
melawan kerajaan-kerajaan lokal yang hendak melepaskan diri, termasuk Kerajaan
Banggai.
Semakin
rapuhnya ketahanan dan keamanan Kesultanan Ternate ini dimanfaatkan dengan jeli
oleh Kerajaan
Gowa. Di bawah arahan Sultan Alaudin, Kerajaan Gowa lantas menyerbu
Kesultanan Ternate yang tengah limbung. Gowa memang sempat mempunyai pengaruh
yang sangat besar di kawasan Indonesia Timur. Takluknya Kesultanan Ternate
kepada Kerajaan Gowa secara otomatis membuat wilayah Kerajaan Banggai pun
berada di bawah wewenang kerajaan besar dari Sulawesi Selatan itu sejak tahun
1625 M (www.pa-luwuk.net).
Sepanjang abad
ke-17 M, tekanan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara
semakin kuat, termasuk dengan Kerajaan Gowa. Hingga akhirnya, pada tanggal 18
November 1667, terjadi peristiwa monumental: Perjanjian Bongaya. Perundingan
ini melibatkan Sultan Hasanuddin selaku wakil dari Kerajaan Gowa dan Laksamana
Cornelis Speelman dari kubu Belanda. Salah satu poin penting dalam Perjanjian
Bongaya adalah bahwa Kerajaan Gowa harus mengembalikan semua daerah taklukan
yang dulu kepunyaan Kesultanan Ternate, termasuk Banggai (Leonard Y. Andaya,
2004). Selanjutnya, Ternate dengan disokong oleh Belanda, akan mengelola daerah-daerah
taklukan yang dikembalikan tersebut.
Setelah
Perjanjian Bongaya ditandatangani, Kerajaan Banggai kembali menjadi daerah
taklukan Kesultanan Ternate. Kondisi ini membuat para pejabat Kerajaan Banggai
naik pitam dan bertekad untuk melepaskan diri dari kekuasaan Ternate. Karakter
heroik Sultan Hasanuddin yang berani melawan penindasan penjajah ternyata
menjadi insipirasi bagi para petinggi Kerajaan Banggai. Perlawanan-perlawanan
yang digerakkan oleh tokoh-tokoh Banggai pun mulai bermunculan.
Perlawanan yang
dilakukan Kerajaan Banggai terhadap Kesultanan Ternate dan Belanda berlangsung
cukup lama. Sekurun 1681-1689 M, misalnya, Raja Banggai saat itu yaitu Raja
Mbulang (Mumbu Doi Balantak), menggerakkan perlawanan rakyat Banggai
lantaran menolak monopoli perdagangan Belanda. Namun, pada akhirnya Mumbu
Doi Balantak tidak mampu berbuat apa-apa karena ditekan oleh Ternate yang
memang sudah menjadi sekutu Belanda (http://id.wikipedia.org).
Tanggal 9
November 1741, saat Kerajaan Banggai dipimpin oleh Abu Kasim (bukan orang yang
sama dengan Abu Kasim putra Adi Cokro), terpaksa menyepakati perjanjian dengan
Belanda. Namun, secara diam-diam Abu Kasim juga menjalin relasi dengan Kerajaan
Bungku. Kedua kerajaan ini bekerja sama dengan harapan lepas dari pendudukan
Kesultanan Ternate. Persekutuan rahasia ini akhirnya terbongkar dan membuat
Belanda marah. Akibatnya, Abu Kasim diasingkan ke Pulau Bacan (Maluku Utara)
hingga akhir hayatnya (www.pa-luwuk.net). Oleh karena itu, Abu Kasim juga
dikenal dengan nama Mumbu Doi Bacan.
Gerakan
perlawanan Kerajaan Banggai terhadap Kesultanan Ternate dan Belanda tidak
berhenti sampai di sini. Raja Antondeng dengan gelar Mumbu Doi Galela
(1808-1829) juga melancarkan gebrakan. Raja Antondeng menganggap perjanjian
dagang yang ditawarkan dan dirumuskan Belanda sangat merugikan rakyat Banggai.
Kali ini Kerajaan Banggai kali ini juga tidak berkutik hingga akhirnya Raja
Antondeng dibuang ke Pulau Galela atau Halmahera (www.pa-luwuk.net).
Penerus Raja
Antondeng, yakni Raja Agama yang bertahta pada periode 1829-1847, melanjutkan
perjuangan ayahandanya. Babak perlawanan Raja Agama menjadi salah satu episode
paling heroik yang kemudian terkenal sebagai Perang Tobelo. Bukti
berlangsungnya Perang Tobelo adalah ditemukannya sisa-sisa tengkorak dan
tulang-belulang manusia di Lalongo, medan pertempuran antara angkatan perang
Kerajaan Banggai melawan pasukan Kesultanan Ternate yang didukung oleh Belanda
(http://www.wacananusantara.org).
Dalam Perang
Tobelo, Raja Agama sempat dikepung rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat
Banggai, sang raja dapat lolos dan mencari suaka ke Bone (Sulawesi Selatan)
hingga akhirnya wafat di sana pada 1874. Karena mangkat di tanah Bugis, Raja
Agama memperoleh gelar kehormatan sebagai Mumbu Doi Bugis. Masyarakat Banggai
generasi sekarang masih ingat betul kisah-kisah tentang Perang Tobelo karena
perang ini merupakan simbol kebanggaan rakyat Banggai melawan penjajahan
(http://bangkep.kabarku.com).
Sepeninggal
Raja Agama, perjuangan Kerajaan Banggai untuk merdeka masih terus berlangsung.
Motor pergerakan kali ini diemban oleh dua bersaudara, yakni Raja Lauta dan
Raja Taja, yang bersama-sama memimpin Kerajaan Banggai. Akan tetapi, perlawanan
yang digalang oleh kedua raja ini tidak bertahan lama. Akibat kalah persenjataan
dan jumlah personil, Banggai kembali tersungkur. Oleh Belanda, Raja Lauta
dibuang ke Pulau Galela, sedangkan Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan
(http://id.wikipedia.org).
c. Banggai di Era Kolonial dan Kemerdekaan
Memasuki abad
ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengikat hampir seluruh kerajaan
lokal yang ada di Sulawesi Tengah, termasuk Kerajaan Banggai, dengan kontrak
politik. Segala macam bentuk akte itu tentu saja menguntungkan Belanda. Bagi
kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata
(http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc). Selain itu, Belanda juga menerapkan
politik pecah-belah dengan membagi-bagi wilayah yang dimiliki oleh sejumlah
kerajaan. Kerajaan Banggai pun tidak luput dari politik rumusan Belanda itu, wilayahnya
dipisahkan menjadi dua, yakni Banggai Daratan dan Banggai Lautan atau Banggai
Kepulauan (http://infokom-sulteng.go.id).
Tahun 1905,
Belanda membagi Sulawesi menjadi dua provinsi yaitu Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara. Gubemur dan residen secara organisatoris berada langsung di
bawah Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Tiap-tiap provinsi dibagi
lagi dalam beberapa afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen
berkebangsaan Belanda. Selanjutnya, masing-masing afdeeling masih dibagi
pula dalam beberapa onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang controleur.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai termasuk ke dalam area Onderafdeeling Banggai.
Di bawah pemerintahan onderafdeeling inilah diterapkan pemerintahan
distrik dan landschap (kerajaan) yang dikepalai oleh kepala distrik atau
oleh raja yang diakui oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (http://infokom-sulteng.go.id).
Dengan
demikian, Kerajaan Banggai sepenuhnya berada di bawah cengkeraman penjajah.
Segala bentuk aktivitas politik kerajaan diawasi oleh Belanda, termasuk dalam
penobatan dan penurunan raja. Beberapa nama raja yang tercatat pernah memimpin
Kerajaan Banggai pada periode pemerintah kolonial Hindia Belanda ini antara
lain Raja Nurdin, Raja Abdul Azis, Raja Abdul Rahman, dan Raja Haji Awaludin.
Belanda mengontrol pemerintahan internal Kerajaan Banggai hingga kedatangan
Jepang pada tahun 1942 (http://infokom-sulteng.go.id).
Sesaat sebelum
Jepang tiba di Banggai, gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dikobarkan
rakyat berada pada titik didih. Tanggal 12 Februari 1942, kaum pejuang Banggai
berhasil menyekap aparat pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mengibarkan
bendera Merah Putih di Luwuk (kelak menjadi ibukota Kerajaan Banggai). Belanda
semakin terpuruk ketika pada 15 Mei 1942 Jepang mendarat di Luwuk. Awalnya,
kedatangan balatentara “saudara tua” itu disambut dengan baik, apalagi
sebelumnya Jepang telah menyiarkan propaganda yang menarik hati rakyat. Namun,
kehadiran pendudukan Jepang malah semakin membuat rakyat Banggai menderita
(http://infokom-sulteng.go.id)
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945
tidak lantas menciptakan kondisi yang ideal bagi rakyat Banggai. Belanda yang
kembali datang dengan membonceng Sekutu, membikin ulah dan mendeklarasikan
Negara Indonesia Timur (NIT) pada tanggal 24 Desember 1946. Dalam naskah
pembentukan NIT, Bab III Pasal 14 Ayat 1 Sub 5e, disebutkan: ”Daerah Sulawesi
Tengah terdiri dari resort afdeeling Poso
dan Donggala
yang meliputi kerajaan-kerajaan termasuk Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku,
Mori, Banggai,
Banawa, Tawaeli, Palu,
Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli”.
Kondisi ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember
1949 (Stevent Febriandy, http://www.batukar.info).
Tokoh pamungkas
yang bertindak selaku Raja Banggai dalam status sebagai kerajaan adalah Haji Syukuran
Aminuddin Amir yang bertahta hingga tahun 1957. Pada era kepemimpinan Raja
Banggai yang terakhir ini, kedudukan ibukota kerajaan dipindahkan dari Banggai
Kepulauan ke Banggai Daratan atau tepatnya di Luwuk. Tahun 1959, wilayah
Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara atau setingkat dengan kabupaten
(http://www.wacananusantara.org).
Selanjutnya,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964,
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah terbentuk di mana Kabupaten Banggai termasuk
di dalamnya. PascaReformasi, Kabupaten Banggai dimekarkan dengan penambahan
satu kabupaten baru, yakni Kabupaten Banggai Kepulauan, pada tahun 1999
(http://infokom-sulteng.go.id).
2. Silsilah
Urutan
raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Banggai agak sukar ditentukan
kepastiannya. Machmud HK menyatakan, fakta-fakta obyektif untuk penulisan
riwayat Kerajaan Banggai sulit didapat karena minimnya catatan tertulis. Sumber
yang digunakan sebagai referensi selama ini hanya cerita dari mulut ke mulut
atau balelee, yakni kisah/kesaksian yang disampaikan dengan nyanyian
oleh seseorang yang dianggap kemasukan roh halus (http://hmbk-makassar.com).
Selain itu,
upaya penelisikan raja-raja Banggai juga terkendala mekanisme pemilihan raja
Banggai itu sendiri. Penetapan Raja Banggai bukan berdasarkan garis keturunan,
namun dipilih dari orang kalangan bangsawan atau bahkan rakyat biasa yang
dianggap mampu (http://pilabeanku.wordpress.com). Melekatnya unsur
heterogenitas tersebut membuat data tentang urutan raja-raja yang pernah
berkuasa di Kerajaan Banggai pun menjadi tercerai-berai. Kendati demikian,
masih dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah bertahta di Kerajaan Banggai,
antara lain sebagai berikut:
- Raja Maulana Prins Mandapar atau Mumbu Doi Godong (1571-1601 M).
- Mumbu Doi Kintom.
- Raja Mbulang atau Mumbu Doi Balantak (1681-1689 M).
- Mumbu Doi Benteng.
- Mumbu Doi Mendono.
- Raja Abu Kasim atau Mumbu Doi Bacan (1741 M).
- Mumbu Doi Pedongko.
- Raja Manduis.
- Raja Antondeng atau Mumbu Doi Galela (1808-1829).
- Raja Agama atau Mumbu Doi Bugis (1829-1847).
- Raja Blauta.
- Raja Taja.
- Raja Tatu Tanga.
- Raja Saok.
- Raja Nurdin.
- Raja Abdul Azis.
- Raja Abdul Rahman.
- Haji Awaludin.
- Haji Syukuran Aminuddin Amir (hingga tahun 1957).
(www.pa-luwuk.net; http://id.wikipedia.org).
3. Sistem Pemerintahan
Sejak awal
berdiri, Kerajaan Banggai sudah menganut prinsip demokrasi dalam tata
negaranya, terutama dalam mekanisme pemilihan dan pemberhentian raja. Penetapan
Raja Banggai tidak mengenal putra mahkota atau ahli waris. Dengan kata lain,
pemilihan raja bukan didasarkan dari satu garis keturunan: siapapun bisa
menjadi raja jika dianggap mampu untuk memimpin. Apabila dinilai tidak becus
dalam memimpin, seorang raja dapat diberhentikan sesuai dengan konstitusi yang
telah dirumuskan sebelumnya (http://telukpalu.com).
Institusi agung
yang berhak memilih, melantik, dan memberhentikan kedudukan raja adalah sebuah
lembaga legislatif bernama Basalo Sangkap. Pembentukan Basalo Sangkap
sudah dilakukan sejak diresmikannya Banggai sebagai kesatuan kerajaan oleh
Adi Cokro. Anggota Basalo Sangkap adalah 4 pemimpin kerajaan tertua yang
pernah berkuasa di Banggai, yakni Kerajaan Babolau, Singgolok, Katapean, dan
Kokini (Nainggolan, dalam http://www.kompas.com). Jika empat raja tersebut
meninggal dunia, posisi mereka bisa digantikan oleh keturunannya atau
setidak-tidaknya oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga
(http://www.wacananusantara.org).
Raja adalah
pemegang kekuasaan tertinggi di Kerajaan Banggai meskipun setiap kebijakannya
diawasi oleh Basalo Sangkap. Demi kelancaran roda pemerintahan, raja
dibantu oleh Dewan Menteri atau Komisi Empat. Susunan kabinet dalam Komisi
Empat terdiri dari Mayor Ngopa (Raja Muda), Kapitan Laut (Kepala
Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum Tua
(Mahkamah Agung). Masing-masing dari elemen Komisi Empat itu memiliki sejumlah
staf atau pembantu yang dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan
persetujuan dari Basalo Sangkap (http://www.wacananusantara.org).
Selain itu,
Raja Banggai juga mengangkat staf pribadi yang bertugas mengurusi bidang
politik dan pemerintahan serta rumah tangga istana. Penyelenggaraan
pemerintahan di luar pusat kerajaan pun sudah diatur dengan seksama. Untuk
mengelola wilayah Banggai Lautan, ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken.
Sedangkan pejabat daerah yang bertindak sebagai pengatur kawasan Banggai
Daratan disebut Ken Kariken (http://infokom-sulteng.go.id).
Bendera
kebesaran Kerajaan Banggai terdiri dari dwiwarna, yakni merah dan putih, yang
bersusun 13 (http://riaulingga.blogspot.com). Para penggiat Lembaga Adat
Masyarakat Banggai meyakini bahwa bendera Kerajaan Banggai itu menjadi salah
satu inspirasi tercetusnya warna bendera kebangsaan Republik Indonesia, Sang
Saka Merah Putih. Hingga saat ini, bendera pusaka Kerajaan Banggai masih
tersimpan aman di Kamali Boneaka, yakni rumah suci yang dikeramatkan
oleh warga Banggai (http://www.langitperempuan.com).
4. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah
yang dikuasai Kerajaan Banggai adalah seluruh tempat yang semula dimiliki oleh
kerajaan-kerajaan lokal yang ada di Benggawi. Pada masa sekarang, daerah yang
dahulu termasuk dalam area kekuasaan Kerajaan Banggai menjadi wilayah
administratif Kabupaten Banggai yang beribukota di Luwuk dan Kabupaten Banggai
Kepulauan yang menempatkan sentra pemerintahannya di Salakan. Beberapa tempat
yang pernah disebut termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Banggai antara lain:
Lalongo, Batui, Pagimana, Liang, Totikum, Tinangkung Bualemo, Teluk Tomini,
Pulau Peling, Pulau Banggai, Pulau Bangkurung, Pulau Salue Besar, Pulau Labobo,
serta sebanyak 337 pulau kecil dan daerah-daerah lainnya
(http://id.wikipedia.org; http://et-ee.facebook.com).
(Iswara N.
Raditya/Ker/022/10-2010)
Sumber Foto: http://telukpalu.com
“Banggai”, dalam http://www.wacananusantara.org,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
Ismed Syamsuddin, “Banggai dari Sebuah Negara Besar Masa”, dalam http://et-ee.facebook.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
Leonard Y. Andaya, 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi
Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.
“Menelusuri Jejak Kerajaan Banggai”, dalam http://hmbk-makassar.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Persepsi Masyarakat terhadap Pemindahan Ibukota Kabupaten Bangkep”, dalam
www.skripsi-tesis.com, data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Portugis di Ternate dan Tidore”, dalam http://ternate.popsick.com,
data diunduh pada tanggal 6 Oktober 2010.
“Potret Demokratisasi di Banggai”, dalam http://pilabeanku.wordpress.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
Reinhard Nainggolan, “Kerajaan Banggai, Demokrasi pada Kearifan Lokal”,
dalam http://www2.kompas.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Kabupaten Banggai Kepulauan”, dalam http://infokom-sulteng.go.id,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Kabupaten Banggai”, dalam http://id.wikipedia.org,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Kerajaan Banggai”, dalam http://bangkep.kabarku.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Pembentukan Daerah Kabupaten Banggai”, dalam http://www.pa-luwuk.net,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Singkat Kabupaten Banggai”, dalam http://www.ptbss.com, data diunduh pada
tanggal 4 Oktober 2010.
“Sejarah Sulawesi Tengah”, dalam http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
Stevent Febriandy, “Pemerintahan Sulawesi Tengah”, dalam, http://www.batukar.info,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Wagub Tutup FBB dan Hari Jadi Banggai 410”, dalam http://www.radarsulteng.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Perempuan Penjaga Warisan Pusaka Kerajaan Banggai”, dalam http://www.langitperempuan.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Lintasan Sejarah”, dalam http://infokom-sulteng.go.id,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Banggai-Sulawesi”, dalam http://riaulingga.blogspot.com,
data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
“Raja Haji Awaluddin”, dalam http://telukpalu.com, data
diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
saya menambahkan sedikit mengenai adi cokro. sebenarnya nama adi saka itu bukan dari nama adi cokro tpi memang namanya ialah adi saka, sebab klu ada yg katakan adi cokro berubah menjadi adi saka karna dialek banggai maka itu bisa dikatakan keliru. cokro berubah kedalam dialek banggai seharusnya soklo, karna dalam dialek banggai kurang terdapat huruf R dan jika ada akan diserap menjadi huruf L, ini banyak terjadi di daerah bulagi, adi saka itu sendiri merupakan gelar yaitu Adi pengertiannya ialah unggul atau besar sedang saka ialah dahan diambil dari pengertian bahasa sansekerta, dan saka sendiri berkaitan dengan tiang atau tonggak maka jika digabungkan akan memiliki arti dahan atau tiang unggul atau tiang besar .. dan kalau dalam sejarah yg beredar di daerah bulagi adi saka mempunyai 2 orang putra yg kakak bernama Pu Adi meninggal 67 Hijria beliau seorang muslim sedang adiknya yg memimpin kerajaan banggai namanya belum diketahui, adiknya menjadi pemimpin setelah kembali dari jawa, maka jika dimasehikan 67 H brati sekitar akhir 600 M bukan 1600 M. situs kuburan ada di desa lolantang bulagi selatan.. selanjutnya kita bisa diskusikan..
BalasHapusKatanya disatukan Adi Cokro (XVI)...
BalasHapusTapi nyatanya jadi tanah jajahan...
Mengenaskan...
:(
Iya daratan Luk bekas jajahan kerajaan peling ( Banggai kepulauan)
HapusKlo belum tau banyak soal sejarah kerajaan Banggai yang sebenarnya jangan sembarang berbicara,,
Ya assalamualaikum
ini saya tambah
BalasHapushttp://cooljalil.blogspot.com/2014_04_01_archive.html
Sy cmnn mau tanya Nana raja Banggai atau benggawi yang paling pertama, namanya sapa dan mereka berapa bersaudara,,?
BalasHapusKlo ada yang tau tolong beritahu sy ya,,
Assalamualaikum,,