Sabtu, 26 Mei 2012

Profil Banggai Kepulauan


SEBANYAK 121 pulau, lima berukuran sedang, sisanya kecil-kecil bahkan ada yang berwujud batu karang, mencuat ke permukaan. Laut yang mengelilinginya merajut tebaran pulau itu menjadi satu untaian yang disebut Banggai Kepulauan. Luas hamparan laut di wilayah ini dua kali lipat dibandingkan dengan luas daratan yang ada. Sebelumnya, kabupaten ini merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai. Undang- Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut menjadi daerah otonom. Kabupaten induk tetap disebut Kabupaten Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).

Sebagai wilayah kepulauan, laut menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang selalu dan harus digeluti. Pasalnya, di sanalah terdapat potensi dan kekayaan alam yang pantas diolah dan diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk Bangkep. Laut yang bagi banyak orang terkesan menakutkan bagi kabupaten ini merupakan harapan.
Menurut sensus penduduk tahun 2000, penduduk yang sehari-hari menggeluti perikanan 8.299 orang, sedangkan sebagian petani merangkap menjadi nelayan. Saat lahan pertanian tak lagi membutuhkan banyak tenaga, mereka biasanya melaut mencari ikan. Dari hamparan air asin 6.522 kilometer persegi ini tahun 2002 ditangkap 11.487 ton ikan. Jika dirupiahkan, nilainya Rp 31,6 miliar, menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun sebelumnya yang tercatat 14.140 ton.

Data di atas bisa diperdebatkan karena banyak nelayan yang langsung menjual hasil tangkapan ke penampung di tengah laut. Kapal-kapal besar yang datang dari Sulawesi Utara dan Kendari setiap hari menunggu, dilengkapi pendingin. Kontras dengan kapal nelayan tradisional. Di tengah laut itulah transaksi jual beli terjadi.

Bangkep bergantung pada kehidupan sektor pertanian, termasuk perikanan. Separuh penduduk lebih hidup dari sektor ini, yakni 61.630 orang, sedangkan penduduk yang hidup dari perikanan 8.299 orang. Sudah umum diketahui kebanyakan petani merangkap sebagai nelayan.
Ikan kerapu hidup merupakan primadona tangkapan nelayan. Harga dari nelayan ke penampung berkisar Rp 60.000 hingga Rp 120.000 per kilogram, tergantung jenis ikan. Kerapu macan lebih murah daripada kerapu tikus, dan yang termahal ikan napoleon. Di tangan pedagang, harganya Rp 300.000 per kilogram.
Ikan layang atau ikan pelagis yang banyak ditangkap nelayan di tangan penampung dihargai sekitar Rp 500 per kilogram. Khusus layang super berekor kuning, harganya Rp 2.500 per kilogram. Selain ikan segar, Bangkep juga dikenal dengan cumi-cumi kering. Tahun 2002 dihasilkan 345.000 ton ukuran kecil dan 220.000 ton ukuran besar, sebagian besar dikirim ke Jawa.
Kontribusi perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bangkep tahun 2002 tercatat Rp 33,3 miliar, atau sekitar 6,8 persen dari total kegiatan ekonomi Rp 491,4 miliar. Perkebunan menyumbang 19,4 persen dan tanaman bahan pangan 18,5 persen.

Andalan perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete yang dihasilkan hampir di seluruh kecamatan. Dari masing-masing komoditas tersebut tahun 2002 dihasilkan 18.235 ton kelapa, 805 ton cengkeh, 1.642 ton kakao, dan 1.115 ton jambu mete. Karena di Bangkep belum ada industri pengolahan yang mampu menyerap hasil perkebunan ini, petani memasarkan dalam bentuk apa adanya ke luar Bangkep.
Seperti halnya kelapa, setelah dikeringkan dalam bentuk kopra dikirim ke Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai. Di kabupaten induk terdapat pabrik minyak goreng yang membutuhkan bahan baku kopra. Sebagian dikirim ke Surabaya untuk keperluan yang sama. Adapun jambu mete sebagian besar dibeli oleh pedagang dari Pulau Jawa.
Cengkeh yang dulu pernah menjadi pundi-pundi uang petani kini terpuruk. Cengkeh kering per kilogram dihargai Rp 12.000-Rp 13.000. Padahal tahun 2002 pernah mencapai Rp 80.000.
Meskipun sumbangan tanaman bahan pangan wilayah ini terhadap perekonomian Bangkep cukup berarti, untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras, Bangkep mendatangkan dari luar. Beras didatangkan dari Kabupaten Banggai yang di tahun 2002 surplus sekitar 32.000 ton. Juga didatangkan dari Kabupaten Parigi Moutong.

Mulai Maret 2003, khususnya di Pulau Banggai, listrik menyala 24 jam. Penerangan yang tanpa henti ini banyak menolong nelayan menyimpan hasil tangkapan. Produksi es untuk membekukan ikan akan selalu tersedia.

Sebagai wilayah kepulauan, angkutan laut sangat dibutuhkan. Apalagi kapal-kapal besar yang bisa mengangkut hasil bumi ke provinsi atau pulau lain tersedia. Sebelum Oktober 2003 ada kapal Pelni KM Ciremai yang menghubungkan Banggai ke Tanjung Priok, Jakarta . Satu minggu sekali kapal ini angkat jangkar dari Banggai. Berangkat Jumat pagi dan Senin pagi merapat di Tanjung Priok, Jakarta .
Keberadaan kapal tersebut sangat membantu perekonomian Bangkep. Hasil bumi dan laut wilayah ini, yang paling menonjol adalah cumi kering, bisa cepat sampai ke konsumen di Pulau Jawa. Namun, sejak Oktober 2003, setelah 10 tahun menjalani jalur ini, KM Ciremai tidak lagi singgah di Banggai. Sebagai gantinya, wilayah ini disinggahi KM Tilongkabila yang tak langsung keJakarta .
Kapal ini sebulan sekali mampir di Banggai. Alur perjalanan dari Bitung, Luwuk, Banggai, Morowali, Kendari, Makassar, terus ke Benoa. Bagi Bangkep, perubahan rute perjalanan dan jadwal kedatangan kapal yang semakin lama ini mempengaruhi perekonomian masyarakat.

Biaya yang dikeluarkan untuk komoditas dari Banggai yang di kirim ke Jawa semakin membengkak, waktu tempuh yang dibutuhkan semakin panjang. Konsumen terkena dampak karena barang tersebut semakin mahal. Kalau ada pesaing yang memasok dengan harga lebih miring dan waktu lebih cepat, bisa dipastikan konsumen akan beralih ke pemasok lain. Ini bisa menjadi ancaman serius bagi pedagang, petani, dan nelayan Bangkep.
Wilayah Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang memesona. Semakin sulitnya mencapai kabupaten ini, semakin jauh harapan untuk bisa menarik wisatawan. Kepada siapa lagi mereka berharap kecuali pemerintah pusat.